Pages

Kamis, 15 September 2011

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU DITINJAU DARI LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN


PROBLEMATIKA PELAKSANAAN
SERTIFIKASI GURU DITINJAU DARI LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN


I. PENDAHULUAN
Sejak tahun 2007, sertifikasi guru melalui portofolio mulai dilaksanakan di Indonesia. Tidak tebatas, apakah guru tersebut adalah berstatus guru swasta, atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), apakah Guru Tidak Tetap (GTT) ataupun Guru Tetap (GT), semua guru berhak dan memiliki kesempatan yang sama asalkan sesuai dengan yang disyaratkan.
Pelaksanaan sertifikasi guru dan pendidikan di Indonesia merupakan problematika yang harus dikaji kembali, bagaimana efisiensi dari sertifikasi, dampaknya bagi guru dan peserta didik serta bagaimana masa depan pendidikan di Indonesia.
Sertifikasi menjadi buruan yang tak terelakkan bagi para guru. Dengan sertifikasi, para guru berlomba untuk mengumpulkan berbagai sertifikat dan piagam yang harus dimiliki oleh para guru dalam rangka memenuhi portofolio. Tapi hal ini tampaknya menyebabkan para pendidik lengah dan lupa akan perannya sebagai guru. Para pendidik kurang memperhatikan kualitas mengajarnya karena disibukkan dengan sertifikasi. Selain itu, sertifikasi juga membuat para pendidik kehilangan waktu bersama keluarganya, karena mengikuti berbagai seminar yang diadakan guna memperoleh sertifikat yang kebanyakan seminar tersebut diadakan pada hari Sabtu dan Minggu. Sertifikasi juga membuat para pendidik mengingkari nilai-nilai luhur pendidikan seperti jujur, patuh, menjunjung tinggi nilai kebenaran dan lain sebagainya seperti melakukan berbagai kecurangan dan pemalsuan ijazah hanya demi memperoleh sertifikasi.
Sertifikasi guru jika dipandang dari sudut filsafat Pendidikan akan menjawab tiga pertanyaan pokok yaitu: (1) Apakah sertifikasi guru dalam proses pendidikan? (2) Apa yang hendak dicapai (tujuan)?, dan Bagaimana pelaksanaannya? (3) Apakah manfaatnya?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai filsafat pendidikan dalam sertifikasi guru khususnya epistemologi yaitu problematika dalam pelaksanaan sertifikasi guru dalam proses pendidikan.

II. PEMBAHASAN
a. Sertifikasi Guru
Sertifikasi merupakan suatu usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dengan meningkatkan kualitas guru serta kesejahteraannya. Diharapkan seluruh guru Indonesia nantinya mempunyai sertifikat atau lisensi mengajar. Tentu saja dengan ukuran karakteristik guru yang dinilai kompeten secara professional. Hal ini merupakan implementasi dari Undang-Undang tentang guru dan dosen bab IV pasal 8 yang menjelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Undang-Undang, Nomor 14 Tahun 2005)
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Guru dan Dosen Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik, kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam serta kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila kompetensi guru bagus yang diikuti dengan kesejahteraan yang bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus sehingga dapat membuahkan pendidikan yang bermutu (Masnur Muslich, 2007).


b. Pola Sertifikasi Guru
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 65 huruf b dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, sertifikasi bagi guru dalam jabatan untuk memperoleh sertifikat pendidik dilaksanakan melalui pola: (1) uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio, dan (2) pemberian sertifikat pendidik secara langsung.
Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai selama menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu.
Penilaian portofolio dilakukan melalui penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Pemberian sertifikat pendidik secara langsung dilakukan melalui verifikasi dokumen.

c. Sertifikasi Guru Ditinjau dari Landasan Filsafat Pendidikan
Pada filsafat yang mengkaji tentang ontologi maka sertifikasi adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas spesifik dalam proses pendidikan. Sertifikasi biasanya harus diperbaharui secara berkala, atau dapat pula hanya berlaku untuk suatu periode tertentu. Sebagai bagian dari pembaharuan sertifikasi, umumnya diterapkan bahwa seorang individu harus menunjukkan bukti pelaksanaan pendidikan berkelanjutan atau memperoleh nilai CEU (Continuing Education Unit). (http://id.wikipedia.org.)
Sertifikasi guru dapat diartikan surat bukti kemampuan mengajar dalam mata pelajaran, jenjang ,dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang diterangkan dalam sertifikat pendidik (Depdiknas,2003). Dalam UU No.14/2005 pasal 2 disebutkan bahwa pengakuan guru sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Selanjutnya pasal 11 menjelaskan bahwa sertifikasi guru diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar professional guru. Sedangkan sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang yang diberikan kepada guru sebagai tenaga professional.
Pada filsafat kajian epistimologi, Menurut Departemen Pendidikan Nasional megungkapkan bahwa tujuan sertifikasi guru adalah menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran, meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan proses, hasil pendidikan, mempercepat tujuan pendidikan nasional dan bagaimana proses pelaksanaan sertifikasi guru dalam pendidikan.
Kajian aksiologi pada filsafat tentang sertifikasi guru membahas mengenai nilai guna atau manfaat adanya sertifikasi guru dalam pendidikan. Manfaat Sertifikasi Guru menurut website (http://sertifikasiguru.blog.dada.net) adalah (1) Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru (2) Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas, dan Tidak professional (3) Meningkatkan kesejahteraan guru.

d. Problematika Pelaksanaan Sertifikasi
Dalam filsafat khususnya epistemologi yaitu bagaimana proses pelaksanaan sertifikasi guru, dalam pelaksanaannya banyak dijumpai suatu kenyataan yang tidak seharusnya terjadi. Berikut adalah masalah-masalah yang seringkali muncul dan dialami oleh guru.

1. Kendala Penyebarluasan informasi sertifikasi guru didaerah pelosok
Langkah awal proses sertifikasi ialah sosialisasi. Penyebarluasan informasi tentang sertifikasi ini merupakan “pintu gerbang pertama” agar kemudahan akses berikutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Selama ini, informasi tentang sertifikasi melalui dua jalur. Jalur pertama, dilaksanakan dalam Musyawarah Kepala Sekolah (MKS), dan kedua ialah mengakses internet.
Kendala yang kemudian hadir, kepala sekolah tidak melaksanakan fungsinya dengan baik dalam mensosialisasikan kembali, apa yang diperolehnya menyebabkan seringkalinya informasi tersebut tertahan pada guru-guru tertentu saja. Selanjutnya, melalui internet memiliki keterbatasan tersendiri. Selain guru yang malas belajar, ataupun tergolong “Gaptek” (gagap teknologi) atau “jahiliyah IT”, guru-guru di daerah terpelosok, bahkan tidak tahu-menahu bagaimana caranya mengoperasikan komputer, apalagi internet. Keadaan ini tidaklah terlalu mengagetkan, apabila, kemudian sosialisasi sertifikasi guru tidak sesuai harapan. Sehingga guru-guru dipelosok akan sulit untuk memenuhi standar sertifikasi guru yang ditetapkan pemerintah. Hal ini akan berdampak terhadap tidak meratanya mutu pendidikan dibeberapa wilayah.


2. Pengingkaran Nilai Pendidikan
Keinginan guru untuk memperoleh sebuah sertifikat pendidik, sekaligus tunjangannya, melahirkan perilaku yang tidak layak bagi seorang pendidik. Mental terabas yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pada dasarnya amat mempengaruhi fenomena pemalsuan dokumen ini.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia, ditemui kasus pemalsuan dokumen. Adapun diantara kasus tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Ijasah perguruan tinggi tidak tercatat di Depdiknas maupun Kopertis.
2.    Legalitas piagam penghargaan diragukan karena nomor dan tanggal pengesahannya ternyata tidak berbeda jauh.
3.    Legalitas piagam pelatihan terlihat bekas penghapusan informasi pemilik sebelumnya.
4.    Upaya plagiat atau mengambil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) guru yang terdahulu dan mengganti dengan nama peserta yang bersangkutan.
5.    Penelitian yang dilakukan 3 – 4 kali setahun, padahal maksimal guru hanya mampu melakukan PTK sekali dalam satu tahun.
Terlihat jelas, bahwa pemalsuan yang dilakukan tidak terbatas hanya pada dokumen profil diri, seperti piagam, sertifikat, atau ijazah, akan tetapi menyangkut penjiplakan karya tulis ilmiah orang lain. Yang lebih parahnya lagi, penjiplakan demikian kerapkali tidak seizin dari pemilik aslinya, dan itu termasuk telah melanggar UU Hak Karya Intelektual (HaKi).
            Begitu banyaknya nilai-nilai pendidikan yang diingkari oleh pendidik. Hal ini bertolak belakang dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan pendidik itu sendiri kepada siswa seperti jujur, patuh, menjunjung tinggi nilai kebenaran, tidak plagiat, dan lain sebagainya.

3. Sertifikasi guru tidak menyentuh masalah pendidikan
Sertifikasi guru secara ideal sepertinya hanya lebih memfokuskan pada tugas keprofesionalannya pada satuan pendidikan dimasing-masing tempat mereka bekerja. Dengan tunjangan yang diperolehnya dan ketentuan 24 jam mengajar/tatap muka dalam seminggu, akan dicapailah predikat “guru luar biasa” artinya guru bersertifikat hanya bekerja pada satu tempat, tidak seperti dulu yang bekerja di luar sekolah demi mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pemerintah berharap, bahwa dengan mengeluarkan kebijakan berupa keharusan sertifikasi guru, semua persoalan dapat teratasi termasuk profesionalnya seorang guru, peningkatan mutu, dan kompetensi yang tinggi dalam dunia pendidikan.
Akan tetapi, pemerintah seringkali lupa, kalau keprofesionalan harus dibangun dalam proses yang panjang. Yang meliputi banyak hal, dan tidak hanya dengan peyederhanaan melalui sertifikasi. Bagaimana mungkin guru yang ikut sertifikasi menjadi guru yang berkompeten, apabila dalam memenuhi tagihan portofolio kebanyakan bertindak curang. Selanjutnya bagaimana dunia pendidikan Indonesia bisa mengalami kemajuan, dan belum lagi masalah sarana dan prasarana yang jauh tertinggal dengan negara tetangga.
Dengan kenyataan sekarang ini, banyak para pakar pendidikan menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional, karena sertifikasi guru cenderung pendekatan formalistis dan tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia.

4. Miskin Keterampilan dan Kreatifitas
Guru bukanlah bagian dari sistem kurikulum, tetapi keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan bergantung pada kemampuan, kemauan, dan sikap professional tenaga guru (Soedijarto, 1993:136). Kalau dikaitkan persyaratan professional seorang guru yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yaitu, mampu merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, dan menilai proses belajar secara relevan dan efektif maka seorang guru yang professional akan dengan mudah lolos sertifikasi berbasis portofolio tanpa harus memanipulasi berkasnya. Karena sebelumnya ia telah giat mengembangkan dirinya demi anak didiknya. Namun yang menjadi persoalan adalah mereka, para guru yang melakukan kecurangan dalam sertifikasi.
Temuan kecurangan dalam sertifikasi tersebut jelas membuktikan bahwa guru yang lolos sertifikasi dengan cara memanipulasi berkas portofolio, akan tetap mengajar dengan seadanya.
Guru yang terampil dan kreatif akan mampu menguasai dan membawa situasi pembelajaran dengan bekal keterampilan dan ide-ide kreatifnya. Sehingga peserta didik pun lebih menarik mengikuti pelajaran, tidak jenuh dan berpikiran bahwa guru tersebut adalah orang yang handal dan mempunyai banyak pengalaman. Berbeda halnya dengan guru yang tidak kreatif. Mereka miskin keterampilan dan kreatifitas sehingga apa yang disampaikan serasa kaku tanpa pengembangan konsep pembahasan.
5. Kesejahteraan
Guru sekarang masih banyak yang belum sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan antara guru yang sudah PNS dan guru yang belum PNS. Banyak guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku. Mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, sehingga tidak mungkin sanggup membeli buku. Hal ini karena kecilnya penghasilan setiap bulannya.

d. Solusi dalam Problematika Sertifikasi
1.        Lembaga LPTK
Mengadakan analisis kebutuhan tentang pemicu atau penyebab ketidakberesan guru di lapangan. LPTK harus bekerja sama dengan sekolah. Evaluasi program LPTK secara berkala, dan sepertinya sebuah badan evaluasi independen dapat diundang untuk bekerjasama.
2.        Menindak Tegas Pelanggaran
Guru yang masih memiliki sikap cela, seperti korupsi, tindakan kekerasan, pencabulan, harus ditangani secara serius, dan tidak hanya sekedar terapi kejut saja. Hal ini amat dianjurkan, mengingat biaya yang besar dikeluarkan rakyat melalui pemerintah untuk pendidikan, dan keinginan untuk tetap melestarikan pandangan positif masyarakat terhadap guru
3.        Penundaan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP)
Depdiknas melakukan penundaan terhadap proses pencairan tunjangan profesi pendidik (TPP) kepada guru yang tidak memenuhi beban mengajar setelah sertifikasi.
4.        Mensosialisasikan dan Meningkatkan Pengawasan Sertifikasi
Terkait dengan indikasi adanya kecurangan dokumen portofolio yang diserahkan guru yang terpilih dalam kuota, maka Dinas Pendidikan di daerah selaku lembaga fasilitator agar dapat terus mensosialisasikan program sertifikasi, supaya guru tidak panik dalam menghadapi proses penilaian portofolio. Hal Ini harus disosialisasikan oleh dinas pendidikan setempat bahwa guru tetap punya kesempatan untuk lulus melalui pendidikan dan pelatihan. Bagi yang sudah dapat sertifikat pendidik pun perlu diingatkan supaya bertanggung jawab terhadap kualifikasi yang sudah diraih. Selain itu sosialisasi terkait sertifikasi ini dapat membantu para guru yang belum mengerti apa yang harus dilakukan agar lolos sertifikasi dengan jalan yang benar. Para pengawas sertifikasi dalam hal ini tim asesor juga perlu meningkatkan kejelian dan ketelitian dalam mensertifikasi para peserta, agar tidak meloloskan peserta yang memanipulasi berkas portofolionya. Serta meningkatkan kewaspadaan terhadap indikasi kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Sertifikasi guru jika dipandang dari sudut filsafat akan menjawab tiga pertanyaan pokok yaitu: (1) Apakah sertifikasi guru dalam proses pendidikan? (2) Apa yang hendak dicapai (tujuan)?, dan Bagaimana pelaksanaannya? (3) Apakah manfaatnya?
2.      Sertifikasi merupakan suatu usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dengan meningkatkan kualitas guru serta kesejahteraannya.
3.      Problematika dalam pelaksanaan sertifikasi yaitu kendala penyebarluasan informasi sertifikasi guru didaerah pelosok, pengingkaran nilai-nilai pendidikan, sertifikasi guru tidak menyentuh masalah pendidikan, miskin keterampilan dan kreatifitas, masalah kesejahteraan






DAFTAR PUSTAKA


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.2009. Buku 2 Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sertifikasi Direktorat. Jakarta.
http://sertifikasiguru.blog.dada.net

4 komentar:

  1. live casino Malaysia promotion Thanks for taking 918kiss the time to discuss that, I really feel strongly about it and love 918 kiss learning more on that topic 918kiss Malaysia. If achievable, as you gain competence, would you mind updating your blog with more information? It is highly helpful for 918kiss free credit me.

    BalasHapus
  2. Spot on with this article, I really think this website needs more attention. I'll probably rollex casino free credit be back to read more, thanks for the info.

    BalasHapus
  3. Thanks for always Mega888 Kiosk
    being the source that explains things instead of just putting an unjustified answer out there. I loved this post.

    BalasHapus
  4. Fairytale in Khon Kaen's slot game. Fairy check this link right here now symbol in Khon Kaen's Slot robot Game-Hello, friends, sports betting | Online Gambling | Online Casino | Online Fish Shooting | Online Slot machine This article is ready for you to door and use this information. I hope the content has been published. We can write it for your reference and enjoy reading.

    BalasHapus